Marriage is art of battle
Mengapa orang gagal menikah? Mengapa orang takut menikah? Mengapa pernikahan bisa bubar? Mengapa suatu hubungan yang sudah dilandasi cinta yang kuat akhirnya gagal juga? Apa yang salah?Kata "pernikahan" pertama kali terlintas di benak saya ketika umur 17 atau 18 tahun. Waktu itu, saya pacaran dengan seorang laki-laki yang tampan (menurut ukuran saya). Tidak ada masalah uang, pun tidak masalah agama. Setelah tiga tahun pacaran, dia curiga saya punya pacar lain. Otak belasan tahun saya yang cetek tidak mampu berpikir untuk memberi penjelasan apapun yang pantas ke mantan saya itu.
Lalu, bunga-bunga cinta bersemi lagi dengan seorang senior di kampus. Lumayan lama kami pacaran, 8 tahun nyaris 9. Kami memiliki banyak kesamaan sifat dan pola pikir. Salah satu kesamaan kami adalah hobi kabur kalau ada masalah. Klop! Untungnya, kebodohan-kebodohan itu terjadi waktu masih pacaran. Coba kalau saat itu saya sudah pakai cincin kawin. Suami saya curiga saya punya PIL, lalu istrinya ini cuma diam saja. Atau, saya berkelahi dengan suami, lalu saya cari pacar. Suami saya marah dan terus cari pacar juga. Kusut, kan?
Kemudian saya beberapa kali pacaran lagi, namun gagal. Akhirnya, sampai sekarang saya masih betah menyandang gelar "perempuan karier" tanpa embel-embel lain di belakang ataupun di depan nama saya.
MENIKAH ITU ASYIK
Seorang sahabat mantan kuliah dulu berpikir, saya takut komitmen karena pernah patah hati. Beberapa kali patah hati, tepatnya. Saya jawab,"Maaf kawan, saya ini perempuan pemberani. Berani sakit asal bisa jatuh cinta". Rekan kantor saya bilang, berhubung saya sudah jadi "jomblo berjaya", maka saya takut kehilangan kebebasan dan karier. Saya jawab,"Nehi. Pertama, saya jomblo tapi tidak berjaya. Kedua, meski nanti kebebasan saya berkurang, saya dapat ganti yang sepadan karena tidak perlu bangun tidur sendirian lagi. Bisa curhat-curhatan sebelum tidur. Asyik! Dan, saya bisa menulis dari rumah."
Ada juga yang menebak saya takut anak kecil. Hah! Saya tidak takut anak kecil karena mereka kecil. Kalaupun saya harus direpotkan mengurus makhluk-makhluk mini tersebut, saya yakin pasti ada keasyikan lain yang saya dapat. Atau saya takut orang ketiga? Takut tapi tak gentar. Ada rumah tangga yang bisa utuh lagi asal bisa menyelesaikannya. Iya,kan? Ada juga teman sesama penulis yang bilang saya cuma takut bahagia. Terpaksa saya akui, teman saya yang gila karena menebak seperti itu.
Buat saya, pernikahan itu adalah perbuatan yang mengasyikkan, namun tidak seratus persen asyiknya. Kadang, ada perselisihan, kadang ada badai. Yang saya takutkan, bukan perselisihannya, bukan badainya, bukan masalahnya. Yang saya takutkan adalah kemampuan saya memecahkan masalah.
SENI BERPERANG
Gagal pacaran mengajarkan saya bahwa kadangkala dalam berinteraksi dengan orang lain, kita dituntut untuk memiliki keahlian berperang. Tahu seni berperang. Dalam peperangan, orang harus bisa membaca situasi, kadang perlu menekan dan bernegosiasi, atau mengaku kalah (baca: salah).
Kala masalah datang, badai menerjang, peperangan melanda, di situlah seni berperang harusnya dimainkan. Akhirnya, saya putuskan untuk belajar seni berperang dulu. Seni memecahkan masalah. Seni menciptakan perang yang sehat, ketika perang itu tak bisa lagi dihindari.
Izinkan saya menjiplak Ann Landers yang pada tahun 1968 pernah berkata,
"All married couples should learn the art of the battle as they should learn the art of makin love. Good battle is objective and honest -- never vicious or cruel. Good battle is healthy and constructive, and brings to a marriage the principle of equal partnership."
Semua pasangan yang sudah menikah harus belajar seni berperang sebagaimana mereka belajar seni bercinta. Peperangan yang baik haruslah objektif dan jujur -- tidak brutal dan tidak kejam. Peperangan yang baik adalah yang sehat dan membangun, dan membawa pernikahan kepada prinsip kemitraan yang sejajar.
Wuih, indah sekali, bukan? Siapa yang belum belajar, hendaknya belajar sekarang juga. Setuju?
Sumber: Weddingku Catalogue Mei - Oktober 2008 (oleh: Lily Turangan)

No comments:
Post a Comment